Rabu, 30 Januari 2013

Inilah

Inilah tempat pelarian saya, diatas bukit paling tinggi yang ada di desa ini. Jelas terlihat suasana desa yang selalu tampak tenang. Ditempat ini pula saya bisa melihat hampir seluruh aktivitas warga desa. Pada pagi hari saya bisa melihat anak-anak SD yang akan berangkat sekolah dengan mengayuh sepedanya, pada siang hari saya bisa melihat mereka yang sedang menggarap sawahnya, pada sore hari saya bisa melihat teman-teman saya yang asyik bertanding bola. Saya dapat kesini kapan saja, sebelum berangkat sekolah, sesudah pulang sekolah, sebelum bermain bola bersama teman-teman saya, atau saat saya tidak ingin bermain bola dan hanya menyaksikan mereka dari atas sini.

Inilah tempat pelarian saya, saya tidak mau membaginya dengan siapapun. Saya akan berterimakasih kepada orang yang pertama kali menyebarkan mitos dan cerita menyeramkan tentang bukit ini. Berkat mitos dan cerita menyeramkan itu warga desa tidak ada yang berani menjajakan kakinya di sini. Banyak mitos yang beredar mengenai bukit ini, salah satunya jika ada orang yang berani menaiki puncak bukit maka orang itu akan terkena sial selama tujuh hari lamanya. Cerita menyeramkan datang ketika ada seorang warga desa yang melihat sesosok harimau Jawa yang terlihat menuruni bukit pada malam hari, tidak beberapa lama sosok harimau itu pun menghilang. Saya sudah seringkali menaiki puncak bukit ini, sampai saat ini saya tidak apa-apa. Dan saya rasa warga yang melihat harimau itu hanya mengada-ada, saya tidak melihat sosok satu harimau pun. Yang ada hanyalah jangkrik dan belalang yang seringkali berlomba menuruni bukit.

Sore hari ini saya enggan untuk bermain bola bersama teman-teman saya yang lain, biasanya kami akan bertanding sampai setengah jam sebelum adzan maghrib berkumandang dari surau. Sore hari ini saya memilih untuk menonton pertandingan mereka sembari merenung. Renungan tentang masa depan, saya tau sebentar lagi saya lulus SMA. Kebanyakan pemuda dari desa ini selepas lulus SMA akan pergi ke Ibukota, mencari nafkah, mencoba untuk menjadi orang yang sukses atau sebaliknya. Bagaimana dengan saya ? Hari ini saya mendapat kabar yang cukup menggembirakan, berkat menjadi kapten ekstrakulikuler di sekolah dan sering menjuarai pertandingan sepakbola antar SMA se-kabupaten, saya mendapat tawaran beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas swasta di ibukota. 

Saya tau bahwa pada akhirnya saya harus mengambil kesempatan beasiswa ini, saya tidak mau menjadi seperti pemuda desa lainnya yang berakhir bekerja serabutan di ibukota. Saya akan meneruskan sekolah, belajar menjadi seorang pria yang nantinya akan berjalan dengan bangga karena bisa menaikan derajat sosial keluarganya. Sore itu saya berusaha menikmati setiap detik apa yang saya bisa lihat dan rasakan di atas bukit. Saya menutup mata, merasakan hembusan angin yang menghelai wajah saya, mendengarkan sayup-sayup suara teman-teman saya yang sedang bertanding bola, mendengarkan sesekali suara jangkrik dan kicau burung, mendengarkan suara padi yang bergesekan daunnya karena tertiup angin.

Saya akan merindukan tempat pelarian saya, di ibukota tidak mungkin ada tempat dengan nyanyian alam yang saya bisa dengar seperti di tempat ini.

Banyu, Pemuda desa, 18 tahun.

Senin, 28 Januari 2013

Kemana

Hampir setahun yang lalu saya membereskan barang-barang yang saya perlukan, memasukannya ke dalam tas ransel dan memangul tas itu menaiki bis malam. Pergi keluar dari kota ini, sendiri. Kemana ? Saya tau lokasi tujuan dari perjalanan saya waktu itu, tapi tujuan yang sebenarnya lebih jauh dari lokasi fisik yang saya tuju. Ketenangan, iya tujuan saya adalah ketenangan.

Demi mencapai tujuan, saya harus menempuh perjalanan darat selama 18 jam menaiki bis malam. Sungguh suatu pengalaman yang mungkin biasa bagi orang lain tapi tidak bagi saya. Entah bagaimana, di bis itu saya merasa sebagai seorang psikolog atau bisa juga disebut teman curhat. Entah sudah berapa penumpang saja yang membagi sebagian cerita kehidupannya pada saya. Saya tidak bertanya, mereka bercerita dengan sendirinya. 

Kemana tujuan saya setahun yang lalu ? Kemana tujuan saya sekarang ? Kemana dulu saya pergi ? Kemana tujuan saya nantinya ?

Sesekali saya tidak mau menanyakan pertanyaan dengan kata tanya  itu didalamnya.

Jika pertanyaan dari kata tanya kemana sudah ada jawabannya, maka tujuan sudah pasti ada dan itu sudah menjadi suatu kepastian. Bukankah hidup ini penuh dengan elemen-elemen yang tidak pasti. Partikel apalah itu namanya, senyawa tidak jelas, zat tak bernama, lokasi tak bernyawa. Itu semua tidak pasti, bukan ? Lalu kenapa tidak sesekali kita berjalan saja tanpa arah dan tujuan, membiarkan hidup memberi kejutan dengan sesekali menghilangkan kata tanya
kemana.
.
Copyright © 2014. All Right Reserved by Mira Dwi Kurnia