Rabu, 29 Agustus 2012

Lima Ribu Lima Ratus

Sore itu seseorang terlihat sedang berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Andi, seorang front officer yang selalu kebagian shift pagi, ingin sekali cepat pulang. Tidak ada alasan khusus, kenapa Andi ingin cepat pulang. Dia hanya ingin cepat-cepat keluar dari ruko putih empat lantai itu, muak rasanya bekerja dengan atasan yang sifatnya sebelas-dua belas dengan Adolf Hitler, diktator. Belum lagi teman satu mejanya, iya karena Andi adalah seorang front officer tentunya dia harus berbagi meja dengan Rina, seorang perempuan tambun yang hobinya selain aerobic adalah nyinyir, ngerumpi, bergosip dan ngomongin hal-hal yang lebih banyak jeleknya ketimbang baiknya, hal-hal ini bersangkutan dengan satu nama, Pak Joyo, atasan mereka.

Sebenarnya Andi heran dengan hobi Rina yang suka ngomongin Pak Joyo di belakang. Dia pun punya perasaan yang sama terhadap Pak Joyo si juara satu diktator itu. Tapi apakah mesti, Rina menghina Pak Joyo di belakang, hampir setiap hari. Mungkin kata-kata hinaan yang keluar dari mulut Rina itu teruntuk Pak Joyo, tapi karena setiap hari Andi yang terkena getahnya untuk mendengar hinaan itu, lama-lama kuping Andi panas juga. Dia sudah muak mendengar segala hinaan dan umpatan tidak jelas Rina, tapi apa yang bisa dilakukan Andi? Pemuda pendiam dan sangat menjunjung tinggi sopan santun ini, tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya diam, bahkan dia tidak mempunyai kemauan untuk menegur Rina.

Suara getar handphone mengalihkan kesibukan Andi yang sedang mengetik. Ada sms masuk, dia pun membukanya.

Ndi, di dompet lo ada uang lima ratus-an kertas yang kan ya ? Gue ganti deh, ndi, buat mas kawin abang gue nikahan nih. Dia butuh uang kertas lima ratus-an. Gimana, boleh nggak ? Kabarin gue secepatnye, yee...

Sms dari Farid, sahabatnya dari SMA. Dia sudah mendengar kabar bahwa abangnya Farid akan melaksanakan akad nikah dua minggu lagi. Uang lima ratus kertas yang bergambar monyet yang dikeluarkan PERURI pada tahun 1992 masih tersimpan dengan sangat mulus di dompetnya. Andi tidak menyangka kalau uang tersebut sebentar lagi akan berpindah tangan.

Andi melirik ke arah jam tangannya. Jam 16:35. Dua puluh lima menit lagi sebelum waktunya dia bisa keluar dari kantor yang nggak ubahnya seperti sarang siluman itu. Sembari mengetik, dia pun teringat dengan asal usul uang lima ratus-an kertas yang ada dalam dompetnya.

Tiga tahun yang lalu...

"Ndi, waaah, selamet ulang tahun ya. Makan-makan doong. Gue, sebagai satu-satunya temen lo di sekolah ini patut mendapatkan traktiran. Ya nggak ? !" Begitu sapa Farid ketika melihat Andi yang baru saja masuk kelas dan langsung duduk di sebelahnya. Memang Farid dan Andi adalah teman sebangku. Seperti kata Farid, Andi hanya mempunyai satu teman pada saat SMA dulu. Dia tidak mempunyai banyak teman karena sifat pendiam akutnya.

Andi yang baru saja, meletakkan tas diatas meja dan langsung duduk di samping Farid pun menjawab dengan malas "Makasih ya. Iya deh pulang sekolah nanti, gue ajak lo ke tempat makan favorit gue."

Mendengar jawaban Andi, Farid mendadak excited hari itu. Dia ingin cepat-cepat mendengar bel pulang. Bel yang dinanti-nanti oleh semua siswa satu sekolah. Suara bel yang akan mengantarkan Farid ke makan gratisnya, traktiran.

Jam sekolah usai dan Farid mempunyai ekspetasi yang sangat besar tentang tempat makan favorit Andi. Kenapa ? Kenapa Farid sampai mempunyai ekspetasi sebesar itu ? Karena Farid tau kalau Andi adalah anak dari orang kaya. Mungkin penampilan Andi sederhana tapi ketika Farid pernah beberapa kali ke rumah Andi. Keluarganya bisa dibilang sangat jauh dari kata sederhana. Ayahnya adalah pengusaha percetakan ternama di Indonesia. Rumahnya sendiri menempati salah satu rumah besar yang berada di pinggir jalan kawasan Bintaro Sektor 4. Karena Farid tau latar belakang keluarga Andi, dia bertanya-tanya sendiri tempat makan favorit Andi itu dimana.

"Terus sedikit lagi. Bentar lagi kita nyampe." Begitu kata Andi yang dibonceng oleh Farid dengan motor bebek kesayangannya. Iya, bahkan Andi tidak membawa motor ke sekolah. Biasanya dia naik angkot atau jika cuaca sedikit bersahabat dia akan naik sepeda. Mungkin Andi berasal dari keluarga yang kaya, tapi dia sama sekali tidak merasa. Keluarganya yang kaya, bukan dia. Begitu pikirnya. "Nah, kita udah sampe !"

Farid mematikan mesin motornya lalu melihat sekeliling. Ini bukan parkiran mall, ini juga bukan parkiran cafe dan terlebih lagi ini bukan parkiran restoran ternama. Farid lalu melihat di depan tempat dia memarkir motornya ada sebuah rumah makan yang bertuliskan WARTEG MAS DARNO. "Serius ini tempat makan favorit lo?" Dan Andi pun mengangguk.

WARTEG MAS DARNO nggak ubahnya dengan warteg-warteg lain yang bisa dijumpai di Jakarta. Hanya satu ruangan yang diisi dengan meja-meja yang berbentuk segiempat. Diatas meja-meja itu lalu di taruh rak kaca yang berisi aneka lauk-pauk khas warteg. Mulai dari orek tempe, sambal balado, ayam goreng, sayur sop, capcai, sambel goreng kentang, ikan mujaer bumbu kuning, kerupuk dan masih banyak lagi menu lainnya. Yang membedakan warteg Mas Darno dengan warteg yang lain adalah harganya yang lebih murah serta ada pilihan nasi merah dan juga ada buah-buahan seperti jeruk dan pisang yang juga tersaji di rak kaca.

"Gw enggak abis pikir ada ya anak orang kaya yang tempat makan favoritnya itu warteg. Gw aja yang kere gini jarang banget makan di warteg."

"Bukan gw yang kaya tapi.."

"Bokap lo ? Lo mau ngomong itu kan ?"

"Bokap tiri gw lebih tepatnya. Lo kan tau itu."

"Tapi tetep aja itu bokap lo sekarang."

Andi lalu mempersilahkan Farid untuk memesan apa saja makanan yang dia suka di warteg itu. Farid yang bertubuh tinggi besar pun tanpa sungkan sudah memesan segala lauk pauk yang ingin dia makan. Sembari mereka berdua makan, percakapan pun berlanjut.

"Jadi, lo mau kuliah dimana, Ndi ? Udah kelas tiga nih kita sekarang. Enggak kerasa yee, bentar lagi kita udah mau lulus aje."

"Enggak tau"

"Lho, kok enggak tau. Kalo gw nih ya, gw mau kuliah di Bandung. Mau kuliah di ITB FSRD. Pokoknya gw mau keluar dari Jakarta deh, Ndi. Sumpek banget ini kota. Tapi lo tau kan jurusan apa yang mau lo ambil?"

"Hukum. Gue mau jadi pengacara. Gue mau nuntut bokap gw."

"Bokap kandung lo ? Ndi, lo jangan macem-macem yee, udah enak-enak lo dikasih hidup yang kayak begini. Lo tinggal di rumah yang mewah dengan segala fasilitas yang ada. Gue enggak tau alasan lo, tapi lo enggak mau make fasilitas itu. Gue kalo jadi lo, mungkin pas gue lagi ulang taun kayak gini. Gue bakalan ngajakin temen gue satu-satunya makan di The Buffet. Eh sori ndi, itu sebenernya cuman angan-angan gue doang. Abis gue kira pas lo bilang lo mau traktir, lo bakalan nraktir di restoran mahal. Tapi makanan warteg Mas Darno enak juga kok, ndi. Hehe."

Andi hanya bisa mendengarkan serentetan kata-kata yang keluar dari mulut Farid ketika mereka sedang makan. Dia sudah tau jurusan yang akan diambilnya ketika kuliah nanti tapi dia belum tau dimana.

"Rid, gue mau kerja deh."

"Kerja di perusahaan bokap lo ? Trus lo nggak kuliah ? Gila kali lo !"

"Bukan, bukan di perusahaan bokap tiri gue. Gue males ngeliat tampang-tampang bawahannya bokap yang sok gila hormat itu. Kalo ada bokap, mereka pada masang senyum manis ke gue, kalo nggak ada bokap, boro-boro senyum. Mandang gue aja enggak. Mungkin mereka tau, gw cuma anak tirinya kali ya? Gw kemaren browsing di internet tentang kuliah malem. Ada beberapa universitas di Jakarta yang punya kelas malem. Dan ada satu yang punya jurusan hukum. Gw mau masuk situ aja. Paginya gw mau kerja, gw mau biayain kuliah gw sendiri"

"Anjrit ! Kece bangkur pemikiran lo. Enggak nyesel deh gue jadi temen lo satu-satunya. Trus kalo enggak kerja di perusahaan bokap lo, lo mau kerja dimana ?"

"Gue belum tau. Dimana aja yang nerima lulusan SMA dan bisa kerja pagi. Seenggaknya itu pekerjaan ada shift pagi nya dan gue berharap bisa ditempatin terus di shift pagi."

Farid hanya bisa mengangguk-angguk. Salut bukan main dengan temannya yang satu ini. Dia selalu heran kenapa anak orang kaya bisa berlaku se sederhana ini. Di saat banyak remaja diluar sana yang berlomba-lomba memamerkan harta orang tuanya di mall-mall dengan baju, sepatu, tas dan gadget yang mereka punya. Andi sangatlah bertolak belakang dengan mereka.

Andi juga sibuk dengan pemikirannya sendiri. Dia juga selalu heran dengan ekspresi tidak percaya Farid tentang hal-hal yang dianggapnya sangat normal untuk dilakukan, seperti naik angkot ke sekolah atau makan di warteg seperti ini misalnya. Dengan berbagai peristiwa yang sudah dialaminya dari kecil sampai sekarang, dia tersadar bahwa dia memang sebenarnya tidak memiliki apa-apa. Walaupun sekarang kehidupannya sudah jauh lebih baik tapi dia merasa bahwa memang dia tidak memiliki apa-apa. Segala kekayaan beserta rumah mewah adalah milik Ayah tirinya, diatas itu semua Andi sadar bahwa harta hanyalah seonggok titipan dari yang mahakuasa, toh kita terlahir di dunia saja bertelanjang dan tidak membawa apa-apa.Seperti bumi yang berputar mengelilingi porosnya. Hidup ini pun berputar. Semuanya bisa diambil kapan saja oleh kehendak-Nya, atas izin dari-Nya. Itulah pemikiran Andi tentang kenapa dia lebih memilih untuk berkehidupan sederhana. Pemikiran yang tidak biasa dari seorang remaja yang baru berulang tahun kedelapan belas.

"Pak, maaf. Tapi uang ini udah nggak laku lagi. Uang ini udah nggak beredar, udah ditarik dari peredaran semenjak setahun yang lalu." Begitu kata Mas Darno kepada seorang bapak pemulung yang hendak membayar makanannya.

Andi yang melihat kejadian itu pun bertanya kepada Mas Darno "Ada apa, Mas Darno ?"

Mas Darno yang memang sudah mengenal Andi pun menjelaskan "Gini ndi, bapak-bapak ini mau bayar makanannya. Tapi uangnya udah nggak beredar lagi. Nih liat nih, uang ini kan udah ditarik dari peredaran dari setahun yang lalu."

"Yaudah mas, biar saya aja yang bayar. Tapi uang ini boleh buat saya ?"

Bapak pemulung yang dari tadi hanya mendengar percakapan antara Mas Darno dengan Andi spontan langsung berseru dengan kerasnya "Terimakasih yeee dek ! Gua kagak tau kalo uang itu udah kagak beredar lagi. Gua cuman dikasih sama orang, emang bener-bener sialan itu orangnya. Ngasih gw uang yang udah nggak laku. Maklum yee dek, gua kagak makan bangku sekolaan ya kayak beginih dah. Sekali lagi makasih yee !"

Farid yang melihat kejadian itu spontan bereaksi "Hari ini lo nggak cuman nraktir gue, ternyata lo juga nraktir bapak pemulung itu."

"Gue nggak nraktir pemulung itu. Gue cuma ngeganti uangnya aja. Nih, uang bapak itu ada di gue." Andi lantas menunjukan uang bapak pemulung itu yang berpindah tangan dari bapak pemulung lalu ke Mas Darno dan sekarang ada di dia. Selembar uang lima ribuan yang bergambar danau kelimutu dan selembar uang lima ratus yang bergambar orang utan.

"Lima ribu lima ratus ?"

17:00

Waktu yang ditunggu-tunggu oleh Andi. Waktunya dia keluar dari ruko sarang siluman ini. Sembari beres-beres meja kerjanya, Andi menelepon Farid.

"Halo, Rid. Iya. Lo pake aja, buat mas kawin abang lo kan ? Nyantai aja ama gue, udah enggak usah di ganti...."

Percakapan dua sahabat ini berlanjut. Sewaktu Andi menerima uang tersebut dia sempat berpikir. Uang yang sudah tidak laku ini sewaktu-waktu akan berpindah tangan. Uang ini akan berputar entah ke siapa.

Seperti hidup dan kehidupan. Berputar.




This short story is written by

Oojim


Copyright © 2014. All Right Reserved by Mira Dwi Kurnia